IDE DASAR
Desa, atau yang disebut dengan nama lain, sejak lama menjadi “medan tempur” yang paling dekat antara negara, kapital dan masyarakat lokal. Awalnya, negara secara sistematis masuk ke dalam desa melalui regulasi yaitu UU No. 5/1979. Negara melakukan pengendalian melalui struktur birokrasi yang hirarkhis-sentralistik, korporatisasi dan penyeragaman organisasi lokal, depolitisasi rakyat desa dengan kebijakan massa mengambang, dan kooptasi terhadap pemimpin lokal. Semua itu membawa kerugian yang luar biasa bagi desa: identitas lokal hancur, kemandirian dan praktik demokrasi desa merosot, prakarsa lokal tumpul, pemimpin lokal tidak berpihak pada rakyat, modal sosial mengalami erosi, dll.
Negara juga menggandeng pemilik modal dan hutang luar negeri untuk melancarkan pembangunan desa terpadu, dengan janji mampu mengangkat rakyat desa dari keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Revolusi hijau dilancarkan di sektor pertanian untuk menciptakan swasembada beras dan mengangkat kesejahteraan petani. Para pemilik modal memperoleh kesempatan luas untuk melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya alam lokal, termasuk tanah ulayat adat. Tetapi ternyata agenda pembangunan ini tidak membuahkan hasil seperti yang dijanjikan, kecuali hanya mengubah wajah fisik desa yang membuka kemudahan transaksi ekonomi. Sektor pertanian dan petani justru yang menjadi korban kebijakan dan kapitalisasi. Swasembada beras gagal total. Kemiskinan, keterbelakangan dan pengangguran tetap menghantui rakyat desa. Eksploitasi terhadap sumberdaya alam, termasuk tanah ulayat, telah membuat masyarakat adat terpinggirkan dan kehilangan basis penghidupan.
Desa memasuki babak baru ketika desentralisasi dan demokratisasi mengalami kebangkitan, menyusul lahirnya UU No. 22/1999. UU ini sedikit-banyak memberi ruang bagi eforia kebangkitan semangat lokalitas dan otonomi desa. Desa bergolak menuntut pengakuan terhadap eksistensi dan otonomi yang lebih besar. Masyarakat adat juga bergerak menuntut pengakuan negara dan pemulihan hak-hak sosial dan ekonominya.
Pengalaman gelap masa lalu dan kebangkitan desa masa sekarang memperoleh respons secara cepat oleh gerakan sosial kalangan NGO. Kalangan NGO secara serius melakukan pemberdayaan terhadap desa melalui riset, advokasi, pengorganisasian, publikasi, pembelajaran dan seterusnya. Pada saat yang sama, Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FFPM) yang melibatkan banyak pihak yang menaruh minat pada proses pembaharuan desa menjadikan dirinya sebagai arena pembelajaran dan pertukaran pengalaman untuk menggali potensi dan problematika desa, memperluas perhatian banyak pihak terhadap isu-isu desa, mendorong perubahan kebijakan pemerintah, serta memperkuat gerakan-gerakan sosial yang berpihak pada masyarakat desa, selama lima tahun terakhir ini.
Dialektika pengalaman lima tahun itu telah melahirkan gagasan pembaharuan desa, sebagai sebuah agenda strategis untuk menjawab marginalisasi dan kerusakan desa di masa lalu, sekaligus memperkuat kebangkitan desa di masa depan. Pembaharuan desa bukanlah gagasan untuk mengganti “desa lama” menjadi “desa baru”, melainkan sebagai sebuah prakarsa dan gerakan yang melancarkan perubahan kehidupan desa secara berkelanjutan menuju desa yang otonom, demokratis, sejahtera dan berkeadilan. Pembaharuan desa secara umum membidik tiga hal besar. Pertama, desentralisasi dan otonomi desa untuk menata kembali hubungan desa dan negara, memperkuat pengakuan terhadap eksistensi desa, membangkitkan prakarsa dan potensi lokal, serta meningkatkan kemandirian desa. Kedua, rekonstruksi wilayah pedesaan (rural resconstruction) untuk memulihkan dan memperkuat basis penghidupan (livelihood) masyarakat desa secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ketiga, demokratisasi pemerintahan desa untuk membangun relasi yang demokratis antara pemerintah desa, parlemen desa, lembaga-lembaga lokal, komunitas dan warga desa dalam konteks pengelolaan barang-barang publik (public goods) desa.
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FFPD), yang diprakarsai oleh FPPM, merupakan arena untuk menyemai gagasan dan mendorong gerakan pembaharuan desa. Sebagai sebuah forum terbuka, FFPD merupakan arena bagi proses pembelajaran (learning) dan pertukaran (sharing) pengetahuan-pengalaman multipihak (pemerintah, perangkat desa, pemimpin lokal, parlemen desa, organisasi lokal, NGO, perguruan tinggi, media massa, dan pengusaha), yang memungkinkan penyebarluasan gagasan pembaharuan desa, konsolidasi gerakan dan jaringan, serta kelahiran kebijakan yang responsif terhadap desa.
Senin, 6 Oktober 2014 13:26:55 - oleh : admin