Workshop dan Buka Puasa: Menyelematkan Desa dari Politisasi Teritorial
Dalam teori teritorialisasi politik Negara ditempatkan sebagai organsiasi kekuasaan yang menggunakan sarana kekerasan dalam teritori tertentu. Negara memberikan batas ruang dan lahan, kemudian memberikan pengaturan pada siapa yang boleh dan tidak masuk dalam ruang yang sudah dikontrol oleh negara. Disinilah kemudian teritorialisasi politik mendapatkan peranya sebagai instrument pendalaman kapitalisme. Jadi kalau kita sedang berpikir tentang tata guna lahan tata ruang, sejatinya kita sedang melakukan fasilitasi kaplingisasi oleh korporasi untuk mengambil tanah secara legal dan benar karena difasilitasi oleh negara. Dengan cara ini, apa yang disebut masyarakat lokal diabaikan. Demikian pendapat Sutoro Eko Yunanto mengawali workshop setengah hari dan berbuka puasa yang diselenggarakan oleh FPPD.
Workshop yang dipandu oleh Borni dan bertempat di ruang pertemuan FPPD, Sutoro Eko memberikan prawacana tentang tata ruang dan tata guna lahan desa kepada para pegiat FPPD. Workshop yang sengaja dirancang secara sederhana tersebut ditujukan sebagai upaya FPPD menguatkan perspektif, pengetahuan dan keterampilan para pegiatnya, khususnya tentang mengenal alat bbantu pemetaan ruang dan tata guna lahan desa. Terlebih saat ini, FPPD sedang mengembangkan inisiatif gerakan yang relatif baru dari sebelum-sebelumnya. Kali ini dalam kerangka implementasi UU Desa, FPPD sedang bekerjasama dengan beberapa lembaga organisasi masyarakat sipil seperti Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Rainforest Alliance (RA) dan beberapa lembaga donor seperti Oxfam dan Yayasan Belantara. Kerjasama yang terjalin didalamnya yakni mengkonsolidasikan isu-isu lingkungan berkelanjutan dengan isu desa.
Secara lebih spesifik, FPPD dengan SPKS, sejak tahun 2015 menginisiasi desa sawit lestari. Ide dasarnya sederhana, bagaimana agar desa memperhatikan kepentingan petani sawit dan kelestarian alam desa, yang secara umum mengalami degradasi karena ekspansi sawit yang berlebihan. bahkan saking berlebihanya, ekspansi perekbunan sawit telah menghilangkan kedaulatan desa atas penatagunaan ruang dan lahannya. Hal tersebut salah satunya terkuak dari hasil studi FPPD dan SPKS di Kabupaten Pelalawan. Desa Simpang Beringin, dulunya memiliki kelembagaan lumbung desa, karena kuatnya orientasi masyarakat desa bercocok tanam padi. Tapi setelah masyarakat beralih ke sawit, terlebih karena tidak memiliki perencanaan ruang dan lahan yang jelas dari awal, kini masyarakat desa tersebut harus mengalami trade off untuk komoditas pangan padi dan holtikultura. Praktis, meski penerimaan dari sawit cukup menjanjikan tapi secara kemandirian masyarakat yang sebagian besar bergantung pada sawit, kehilangan sebagian aset tanahnya untuk mengembangkan komoditas pangan.
Tantangan implementasi UU Desa berkaitan dengan isu lingkungan lainnya adalah soal kebakaran hutan dan lahan atau karhutla. Karhutla menarik perhatian FPPD dan Yayasan Belantara Jakarta. FPPD dan Yayasan Belantara berpendapat salah satu akar penyebab ancaman karhutla adalah lemahnya ketahanan ekonomi masyarakat desa serta tidak adanya upaya pengarusutamaan konservasi hutan dan lahan dalam kerangka kebijakan pembangunan desi. Hasil observasi FPPD-Yayasan Belantara di desa-desa di Kecamatan Airsugihan di Kabupaten OKI memperlihatkan bahwa selama tiga tahun pelaksanaan UU Desa, kebijakan pembangunan desa yang diinisiasi oleh pemerintah Desa jadi Mulia, Desa Sri jaya Baru dan Suka Mulia belum mengalokasikan dana pembangunannya untuk pengurangan risiko kebakaran hutan. Padahal pada tahun 2015 ketiga desa tersebut berstatus sebagai desa terdampak kebakaran hutan yang maha dahsyat tersebut. FPPD dan Yayasan Belantara saat ini sedang berikhtiar mengembangkan pendekatan baru penguatan kemandirian ekonomi desa melalui penguatan kelembagaan ekonomi lokal berbasis potensi lokal serta pelembagaannya dalam kerangka kebijakan pembangunan desa.
Salah satu kunci terciptanya kemandirian dan kedaualatan ekonomi lokal, kemandirian petani mandiri (smallholder), lingkungan hidup desa yang lestari sampai dengan perencanaan pembangunan yang berperspektif kepentingan desa adalah intergritas desa untuk menjaga keseimbangan tata ruang dan tata guna lahan desa. Bekerjasama dengan Rainforest Alliance (RA), dalam waktu dekat FPPD akan menyelenggarakan workshop tata ruang dan tata guna lahan desa untuk desa-desa di Musi Banyuasin (MUBA). Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengajak desa memperhatikan kedaulatan ruang dan lahan dari ancaman kerusakan ekologis sebagai akibat ketidakpatuhan pihak-pihak pada kebijakan tata ruang dan tata guna lahan.
Terkait dengan tata ruang dan tata guna lahan, sejauh ini belum ada desa yang secara sadar membuat peraturan desa yang secara nyata berorientasi pada penyelamatan tata ruang dan tata guna lahannya. Karena itu, dalam kesempatan workshop setengah hari dan buka bersama, 19 Juni lalu, Sutoro mengingatkan arti pentingnya penatagunaan ruang dan lahan desa yang mempedulikan peruntukan ruang/lahan untuk sosial, kemanusian dan lokalitas. Jangan sampai peraturan desa tentang tata ruang dan tata guna lahan yang nanti dibuat malah menggelar karpet merah bagi pihak swasta mengimposisi kedaulatan desa. Sutoro Eko mencontohkan di Serdang Bedagai (Sergai), sekarang ada 44 desa yang secara territorial ada di dalam hutan. Ternyata ke 44 desa tersebut tidakmemiliki kedaulatan terhadap set dan potensi ekonomi dari hutan tempat desa tersebut ada. Kecuali kebun miliknya sendiri.
Untuk itu, pada kesempatan itu, Sutoro juga mengingatkan pentingnya mendisain alat pemetaan ruang dan lahan yang berpihak kepada desa. Geographic Information Spatial (GIS) adalah salah satu dari sekian banyak human device atau perkakas manusia untuk melihat kepentinganya hidup di dunia. Karenanya, bagi kita GIS harus bisa diletakkan sebagai instrument pemetaan yang membantu masyarakat lokal desa melihat dan memperjuangkan kepentingannya. Dalam bahasa sederhananya, Mas Toro demikian biasa dipanggil, instrument yang membebaskan desa. Apa itu instrument yang membebaskan?. Pertama, instrument yang memungkinan desa merepresentasikan kepentingannya atas sumber daya lokal yang dimilikinya, dan kedua instrument yang memudahkan desa untuk bekerja, bukan mempersulit.
Workshop juga menghadirkan ahli GIS lulusan UGM yang sudah banyak malang melintang dalam kerja-kerja pengindraan jauh, Dian. Dian mengenalkan bagaimana pengetahuan dan teknik GIS digunakan dalam pemetaan ruang dan lahan desa. Senada dengan Sutoro Eko, Dian seorang expert GIS dari Kagem Yogyakarta berpendapat bahwa kebijakan tata ruang dan wilayah yang selama ini ada tercipta dari sebuah proses perumusan yang bersifat top down, sehingga membuka peluang pelemahan atas prakarsa desa. Contohnya, peta batas wilayah kabupaten yang dimiliki pemerintah kebanyakan masih bersifat tentantif. SIG hanyalah instrument atau alat bantu yang hanya berperan pada fungsi-fungsi penyimpanan data, mengolah, menganalisis dan menyajikan hasilnya. Karenanya hal yang tidak kalah penting dalam kegiatan pemetaan ruang dan lahan desa adalah melengkapinya dengan data non spasial. GIS hanya menyajikan citra yang bersifat geografik, karenanya data non spasial justru akan mendalamkan pesan dan makna dari citra geografik tersebut. [Born-red]
Selasa, 4 Juli 2017 13:38:39 - oleh : admin