Desa Sawit Lestari
AUDIENSI
Menindaklanjuti
Position Paper “Desa Sawit Lestari”
Jakarta, 8-9
September 2016
Position paper yang disajikan oleh Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD) bersama Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) merupakan
hasil assessment bersama rangkaian kegiatan lainnya sebagai penguatan tema Desa
Sawit Lestari. Dengan berbasis riset kami menghasilkan beberapa temuan dan
rekomendasi yang kemudian menjadi pertimbangan bahwa dibutuhkan langkah
strategis untuk memberi perubahan pada tata kelola sawit yang selama ini
berjalan, kemudian bagaimana spirit berdesa yang saat ini tumbuh dalam kerangka
UU Desa coba dipertemukan dengan harapan integrasi sawit dengan desa bisa
berdampak peningkatan kualitas hidup petani serta ikut melakukan perbaikan
kualitas lingkungan. Dengan kerangka kerja demikian, kertas posisi kemudian
disusun, selanjutnya diharapkan menjadi referensi dan media melakukan advokasi
kebijakan sampai ke tingkat pusat demi memperbaiki tata kelola sawit yang kami
istilahkan, desa bersawit dan sawit berdesa.
Menutup rangkaian kerjasama antara FPPD, SPKS dan PSL (Perkumpulan Sawit Lestari))
yang dikerangkai program Integrasi Sawit dengan Desa diselenggarakan audiensi
dengan pihak terkait, dalam
hal ini Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, serta
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentu saja dengan direktorat yang
berhubungan dengan kepentingan industri sawit. Kegiatan ini merupakan upaya
melakukan advokasi atau setidaknya upaya awal mendorong kebijakan komprehensif
terhadap pengelolaan sawit yang terintegrasi dengan desa.
Kegiatan ini pada awalnya diharapkan sebagai langkah
awal menginisiasi dan mengawal kebijakan berbasis evidence untuk memulai integrasi industri sawit, baik yang dikelola
oleh petani mandiri (small holders),
terutama yang dikelola oleh perusahaan (privat
sector). Melalui beberapa kegiatan pendahuluan, dari assessment, workshop,
kemudian penyusunan kertas posisi, kami ketiga lembaga berhasil menyusun peta
jalan untuk mewujudkan integrasi perkebunan sawit dengan entitas desa.
Diharapkan integrasi ini akan mendatangkan maslahat bagi petani mandiri,
partisipasi sektor privat dalam tatakelola desa, serta meningkatkan kapasitas
pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
Tentu saja skenario ini juga akan berdampak bagi upaya
perbaikan kualitas lingkungan yang sejauh ini mengalami distorsi cukup besar
oleh ekspansi industri sawit yang nyaris tidak terkontrol. Dalam kerangka Desa
Sawit Berkelanjutan ini, kami menganggap perlu mengomunikasikan gagasan
tersebut kepada segenap pemangku kepentingan yang dianggap bisa mempengaruhi
kebijakan persawitan di Indonesia.
Kegiatan Audiensi dilaksanakan selama dua hari, pada
tanggal 8-9 September 2016. Kesempatan pertama pada hari Kamis pagi melakukan
audiensi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi. Kami diterima oleh Direktur Pembangunan Ekonomi Kawasan Perdesaan
Dr. Faizul Ihsom, M.Eng. Ditemani beberapa stafnya, Direktur PEKP dapat
menerima dan memahami pemaparan yang disampaikan FPPD seputar problematika
persawitan dan petani sawit dalam konteks berdesa. Secara runtut FPPD yang
diwakili Farid Hadi Rahman menyampaikan bagaimana para aktor persawitan di
lokasi assessment memperlihatkan kegiatan yang tidak terintegrasi satu sama
lain. Temuan FPPD menegaskan bahwa tingginya produktivitas sawit ditambah
ekspansi yang meningkat drastic sepanjang tahun, tidak menjadi jaminan
meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan petani sawit mandiri. Kabupaten
Pelalawan yang menyumbang minyak sawit mentah secara signifikan pada PDRB Riau
ternyata memiliki angka kemiskinan cukup tinggi.
Selain itu degradasi lingkungan juga dipaparkan sesuai
temuan FPPD bersama SPKS di lapangan. Memang tidak bisa dihindari bahwa
perkebunan sawit yang massif bisa mendegradasi lingkungan. Selain rakus air,
sawit juga bisa mendegradasi lingkungan akibat pola pertanian monokultur,
sehingga peluang komoditi dan tumbuhan lain terkalahkan oleh iming-iming
ekonomi sawit yang lebih tinggi, serta siklus perputaran uang yang lebih
menjanjikan.
Pemaparan di audiensi kesempatan pertama ini FPPD
mengajukan beberapa rekomendasi konstruktif untuk tata kelola sawit baru dalam
kerangka Tata Kelola Sawit Lestari.
a. perusahaan
sawit berkepentingan agar petani menghasilkan sawit yang produktif,
berkualitas, serta mengikuti standar keberlanjutan (RSPO/ISPO).
b. petani
berkepentingan terhadap perusahaan sawit agar memperoleh pengetahuan dan
keterampilan teknis tentang pengelolaan sawit yang berkualitas dan
berkelanjutan, sekaligus berkepentingan terhadap harga jual yang meningkat.
c.
petani selama ini a-desa, tidak berkepentingan dengan
desa, tetapi dapat diproyeksikan bahwa petani berkepentingan terhadap desa
dalam hal pelayanan administrasi dan produksi, dukungan pendanaan untuk
kegiatan produksi sawit dan organisasi petani, pemberdayaan, serta keterlibatan
desa dalam menjaga lingkungan termasuk mencegah kebakaran.
d. secara
etik dan politik, pemerintah desa (kepala desa) mempunyai sumberdaya, otoritas
dan tanggungjawab mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
termasuk melayani kepentingan petani sawit dan menjaga wilayahnya bebas dari
kebakaran.
Rekomendasi yang diajukan diharapkan membuat pertautan
antara Desa, Petani mandisi dan sektor privat dalam relasi sebagai berikut:
dalam pertautan tiga kepentingan ini diharapkan desa
memiliki peran signifikan untuk ikut serta dalam peningkatan kualitas produksi
sawit petani, serta memperluas peran perusahaan sawit pada penyelenggaraan
pemerintahan. Dengan asumsi itu, tentu saja degradasi lingkungan bisa ikut
ditekan menuju pengelolaan industri
sawit ramah lingkungan.
Pihak PSL juga menambahkan satu agenda penting, bahwa
sangat penting mengorganisir petani sawit melalui desa untuk meminimalisir
dampak gejolak harga komoditi pada kehidupan petani. Selain itu desa bisa
memiliki peran kunci untuk mendaratkan kebijakan sektor sawit khususnya dalam
hal peningkatan kualitas tandan buah segar (TBS) sawit pada petani. Sebab
sejauh ini kebijakan yang berhubungan dengan mutu sawit itu tidak begitu
dipahami petani. Memang standar yang diterapkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) baru sebatas mengikat sektor
privat, tetapi peluang pemberlakuan secara menyeluruh akan terus diupayakan.
Sehingga petani mandiri tidak boleh dirugikan oleh pemberlakuan kebijakan itu.
Menanggapi paparan itu, Direktur PEKP agak kaget
menanggapi bahwa eksport sektor sawit Indonesia sudah melampaui eksport Migas.
Selain itu dia juga mengakui bahwa memang banyak problem yang terjadi antara industri
sawit dengan desa. Untuk memulai penjelasan seputar problematika sawit, Faizul
Ihsom memberi ilustrasi kisah industri
sawit dari seorang temannya yang memiliki kekayaan 1 triliun. Temannya
mengatakan bahwa berusaha di sektor perkebunan sawit tidak semudah usaha
tambang. Bisnis sawit membutuhkan modal besar, pengusahaan yang lebih berat
mulai dari proses pembebasan lahan, penyiapan, penanaman, pemeliharaan sampai
pada pasca panen. Belum lagi butuh fase waktu menunggu sampai empat tahun untuk
memulai panen. Sementara usaha di sektor tambang batu bara misalnya, jauh lebih
mudah. Untuk itu para pengusaha di sektor perkebunan adalah orang bermodal besar dengan tingkat risiko lebih
besar. Oleh sebab itu pengusaha di sektor perkebunan, terutama sawit memiliki
pertaruhan risiko, sehingga membuat mereka sedikit mendekati pelaku-pelaku
politik, mulai dari proses perijinan, perolehan lahan sudah melibatkan politik.
Di satu sisi perkebunan sawit tidak hanya melulu
berurusan dengan perusahaan besar, melainkan juga dengan para petani mandiri
yang notabene adalah warga desa. Di sini letak persoalannya karena petani
sepertinya bergerak sendiri sesuai kapasitas masing-masing, sehingga
menciptakan kondisi tidak seimbang. Bagaimana kemudian hubungannya dengan desa,
persoalan ini harus dilihat juga dari cara pandang pengusaha sawit yang
mengutamakan efisiensi sebagaimana prinsip ekonomi secara standar.
Bagaimanapun, efisiensi akan selalu diutamakan setiap pengusaha. Jika dalam
penyelenggaraan usahanya entitas desa tidak dianggap penting, bahkan dianggap
sebagai salah satu faktor penghambat, maka desa tidak akan dianggap penting.
Selama desa dilihat sebagai entitas yang tidak dibutuhkan maka sampai kapanpun
desa tidak akan diperhatikan.
Memang ada sebuah problem yang belum terpecahkan,
tetapi harus dibicarakan. Di satu sisi prinsip kerja perusahaan adalah
mengutamakan efisiensi dan sedapat mungkin menghindari prosedur yang dianggap
tidak sesuai prinsip
efisien. Dalam keadaan seperti inilah desa sering dilihat sebagai hambatan
dalam berusaha, karena selalu mengedepankan prosedur. Persepsi desa sebagai
entitas yang menghambat dunia usaha sulit dihindari. Untuk mengatasi persoalan
ini perlu konsolidasi supaya desa mulai dilirik oleh dunia usaha. Peran
kecamatan sangat penting sebagai fasilitator bagi multi pihak untuk
mempertemukan potensi dan kekuatan. Camat harus menjalankan peran sebagai
fasilitator untuk mengorganisir desa, tidak hanya sebagai representasi
pemerintah daerah dalam ruang lingkup kawasan pedesaan.
Jika relasi ini bisa dikonsolidasikan maka peluang
mengangkat produksi sawit bisa diharapkan, sehingga tidak hanya bertumpu pada
diversifikasi. Selama ini peningkatan produksi selalu disederhanakan melalui
perluasan lahan, padahal cara pandang seperti ini berdampak serius pada
kualitas lingkungan seperti pembakaran lahan, kualitas air tanah dan
deforestasi.
Nisom kemudian menambahkan bahwa sebenarnya Malaysia
memulai industri
sawit dengan meniru pola Perkebunan Inti Rakyat dari Indonesia, tetapi sekarang
keadaannya terbalik, mereka lebih maju dan peningkatan produksinya ditopang
melalui intensifikasi. Industri
sawit mereka ditopang oleh banyak holding
company dengan pola kerjasama saling menguntungkan. Ada distribusi
kepemilikan yang sangat menjanjikan antara petani dan pemilik pabrik,
persentasi bagi hasilnya juga jelas saling menguntungkan. Konsep share holding ini perlu kita pelajari
bersama, dan teman-teman LSM harus mencari polanya, siapa tahu cara ini bisa
mengatasi persoalan kita. Mengapa orang lebih memilih jadi buruh sawit di
Malaysia dari pada menjadi petani sawit di negeri sendiri, problem ini harus
dicari jalan keluarnya bersama-sama. Jangan sampai jadi buruh di Malaysia
memang lebih menguntungkan dibanding berusaha di negeri sendiri.
Konsolidasi sangat dibutuhkan untuk membuka cakrawala
dan mempertemukan beragam pandangan yang sejauh ini berjalan menurut logika
masing-masing. Selain itu, pembicaraan bersama (dalam istilah FPPD pembicaraan
tri-partit) dibutuhkan untuk menemukan konsep “Sawit Lestari” secara
partisipatif. Diharapkan pengetahuan tentang sawit lestari bisa membuka
spektrum ekonomi yang lebih luas. Yang pasti di sana kita akan bicara soal
peningkatan produksi melalui peningkatan kualitas. Cara pandang seperti ini
pasti akan berdampak baik bagi lingkungan. Kita harus optimis sebab kita saling
membutuhkan untuk maju bersama.
Kementerian Desa punya gagasan melalui BUMDesa
Bersama, kita sama-sama mencari peluang bagaimana supaya lembaga ekonomi di
desa ini nantinya bisa menjadi wadah konsolidasi baik antar petani, juga antar
desa. Tujuan utamanya adalah memperluas skala ekonomi usaha sawit masyarakat
sehingga berdampak luas bagi warga desa. Peluang BUMDesa Bersama memiliki
pabrik CPO sendiri sangat memungkinkan, jika dilakukan akumulasi modal antar
desa, karena sesungguhnya teknologi pengolahan minyak sawit sebenarnya bisa
dijangkau jika beberapa BUMDesa
bersatu. Program ini yang perlu kita perjuangkan bersama sebagai flatform baru
pembangunan ekonomi desa berbasis perkebunan.
Sejauh ini, apa yang didorong dalam kerjasama tiga
lembaga ini dapat dikatakan sejalan dengan keinginan Kementerian Desa.
Semangatnya sama untuk meningkatkan ekonomi masyarakat melalui perkebunan.
Salah satu staf Kementerian kemudian menegaskan bahwa semua pasti bisa berjalan
baik kalau kita berangkat dari payung
yang sama. Kalau kita sama-sama menggunakan UU Desa sebagai semangat pasti akan
berdampak baik pada desa.
Setelah sesi dialog dengan Direktur PEKP, ketiga
lembaga melanjutkan diskusi mencoba mengelaborasi gagasan yang muncul pada sesi
diskusi. SC FPPD berusaha melakukan penajaman pada gagasan konsolidasi dan share holding yang berada dalam flatform
BUMDesa Bersama. Pihak PSL menyambut baik gagasan itu dengan komitmen
pemberdayaan ekonomi petani serta melakukan proteksi terhadap kebijakan yang
berpotensi merugikan mereka. Selanjutnya disepakati untuk menginisiasi program road show ke beberapa kabupaten yang
menjadi mitra SPKS serta mencoba mengikutkan daerah baru yang memiliki areal
sawit luas. Flatformnya adalah konsolidasi multi pihak untuk peningkatan skala
ekonomi petani sawit melalui BUMDesa Bersama. Program ini diharapkan mendapat
respon dari daerah serta dukungan dari Kementerian Desa serta pihak lain yang
berkepentingan. Hasil diskusi ini seperti memperkuat komitmen kerjasama ketiga
lembaga untuk memperlebar langkah dan merangkul lebih banyak pihak untuk
terlibat dalam program ini.
***
Audiensi
kedua diselenggarakan di kantor Kementerian Pertanian. Ketiga lembaga diterima oleh Ir. Dwi Praptomo Sudjatmiko, MS., Direktur
Tanaman Tahunan dan
Penyegar yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan.
Dalam audiensi ini, direktur mengajak serta Kepala Sub Direktorat Persawitan. Pada
sesi kedua ini FPPD kembali menyampaikan persoalan yang ditemukan di lapangan
sehubungan dengan implementasi Desa Sawit Lestari. Penegasannya adalah, sawit
dan desa sejauh ini dekat secara fisik, tetapi jauh secara kelembagaan.
Menanggapi pemaparan tim dari tiga lembaga, Direktur
Tanaman Musiman menyampaikan beberapa hal pokok. Beliau menekankan bahwa memang
sejauh ini sertifikasi ISPO baru diberlakukan untuk sektor privat. Untuk petani
plasma maupun petani mandiri belum diberlakukan. Maksud dari pemberlakuan ISPO
adalah upaya meningkatkan kualitas produksi sawit dalam negeri. Mengenai
tanggapan ini tidak begitu disepakati oleh perwakilan dari SPKS dan PSL, dengan
menyampaikan beberapa persoalan di lapangan. Menurut perwakilan dari SPKS,
memang pemberlakuan sertifikat ISPO belum berlaku bagi petani mandiri, tetapi
dalam prakteknya mereka tidak bisa menjual hasil panennya ke pabrik pengolahan
milik perusahaan yang telah menggunakan instrument ISPO untuk “mempermainkan”
petani mandiri. Sehingga petani mandiri berada dalam posisi tersudut. Pada
akhirnya petani akan rugi karena hasil panennya akan dinilai rendah oleh pabrik
milik perusahaan besar. Petani plasma lebih diuntungkan karena berada dalam
pembinaan perusahaan.
Sejauh ini pemerintah terus menginisiasi peningkatan
mutu produksi sawit dengan memperbaiki instrument ISPO, sekarang dalam tahap
meningkatkan tarafnya melalui Peraturan Presiden. Kalau ini bisa diwujudkan
maka semua pihak yang terkait dengan industri sawit punya kewajiban bersama meningkatkan mutu sawit
nasional. Kendala yang dihadapi sejauh ini karena persoalan ISPO tidak hanya
menjadi pekerjaan Kementerian Pertanian, banyak institusi terlibat karena
menyangkut kualitas lingkungan juga, termasuk dengan Kementerian Perdagangan.
Hanya memang selama ini orang selalu berpikir ISPO itu urusan Kementan. Belum
lagi kalau kita bicara dalam konteks politik.
Perkebunan sawit tidak bisa lepas dari persoalan
politik. Masalah ini akan sangat terlihat pada proses perijinan dan pembukaan
lahan, beberapa kasus korupsi yang diproses KPK menegaskan masalah itu, seperti
di Sulawesi Tengah. Politisasi perijinan biasanya marak menjelang Pilkada,
biasanya ketika kandidat petahanan
membutuhkan ongkos politik lalu menjadikan ijin perkebunan sawit menjadi cara
mendapatkan dana politik. Cara seperti ini yang merusak karena dijalankan
secara sembrono. Sehingga Kementan mengusulkan untuk mengevaluasi wewenang
bupati dalam persoalan ijin perkebunan. Kewenangan bupati perlu direview lagi
supaya tidak rusak semuanya.
Persoalan di awal tadi kemudian berdampak pada
terbengkalainya banyak agenda dalam peningkatan mutu sawit, mengingat
sebarannya juga sangat luas meliputi 11 juta hektar. Saat ini road map sawit perlu ditata kembali
mengingat kebutuhan dalam konteks global. Sawit adalah komoditi strategis, di
mana Indonesia merupakan pemain terbesar kedua. Selain itu sawit masih
terhitung lebih unggul jika dibanding dengan tanaman produksi dari negara lain.
Karena itulah Negara barat sering menekan melalui politik wacana dan Bahasa,
serta aneka macam regulasi yang intinya ingin mempersulit komoditi sawit di
pasar global. Sehingga peran pemerintah di forum internasional juga harus
semakin kuat untuk memainkan politik regulasi ini. Tekanan barat ini tentu saja
butuh gerakan
bersama melawan itu, tetapi kita harus satu pemikiran dulu.
Sejauh ini presiden sudah menginstruksikan bahwa
satu-satunya cara untuk melawan regulasi global adalah melalui upaya terus
menerus kualitas sawit kita. Untuk itu kami menempuh kebijakan moratorium pembukaan
lahan baru dengan maksud untuk melakukan penataan ulang dan fokus pada
peningkatan kualitas dan tata kelola, termasuk penataan kembali perijinan
dengan mengedepankan supremasi hukum.
Jadi upaya peningkatan kualitas sawit kita merupakan kerjasama multi sektor
yang harus duduk bersama, berkoordinasi terus dan melepas ego sektoral. Hanya
dengan cara seperti itu harapan perbaikan kualitas sawit dapat dicapai.
Dalam konteks integrasi sawit dengan desa, antara
ketiga lembaga dengan Kementan belum menemukan persepsi final. Bagi Kementan
selama ini pengelolaan sawit masih dilihat dalam skala kabupaten. Mulai dari
tahap perijinan dan seterusnya dianggap lebih mudah pengelolaannya bisa dilihat
dalam konteks otonomi daerah. Meletakkan sawit dalam konteks berdesa bagi
Kementan dianggap jauh lebih rumit. Bisa jadi anggapan ini dilihat dari
perspektif hamparan lahan sawit, tidak memandang dari perspektif sosial warga
desa, bahwa sejauh ini warga desa yang menerima dampak paling luas dalam urusan
persawitan. masih mengalami perbedaan persepsi antara pihak Kementan dengan
ketiga lembaga. Meski demikian ada satu gagasan yang bisa dijadikan titik
pandang bersama, bahwa Kementan menganggap desa sebagai sentra sawit bisa
dikondisikan dalam kerangka kerjasama antar desa. Dengan gagasan ini, flatform
pengembangan ekonomi petani sawit melalui BUMDesa Bersama bisa diinisiasi,
dengan semangat yang sama memperbesar skala ekonomi desa dan meningkatkan
posisi tawar petani sawit mandiri.
Kementan saat ini berupaya serius memperkuat ISPO demi
meningkatkan daya tawar produk pertanian dalam negeri, sehingga Kementan
mengambil inisiatif mengoordinir multi sektor untuk duduk bersama melihat
persoalan sawit dari banyak sudut pandang dan kepentingan. Pihak Kementan tetap
memperhatikan peningkatan kualitas produk petani. Sehingga ISPO juga
harus dilihat sebagai peluang untuk melakukan kerjasama sektoral yang lebih
baik untuk merealisasikan harapan baik itu. Kerjasama terutama sangat dibutuhkan
untuk mengintegrasikan data masing-masing sektor yang selama ini berjalan
sendiri-sendiri. Tanpa kesamaan persepsi dalam melihat data, perbaikan tata
kelola sulit direalisasikan.
***
Semangat yang sama untuk meningkatkan taraf ekonomi
petani sawit juga telah ditegaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Bahkan statement
sangat tegas dan jelas disampaikan oleh Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan, Prof. Dr. Ir.
San Afri Awang,
M.Sc. San
Afri menegaskan bahwa betapapun besar industri sawit di Indonesia, tetapi tidak ada bukti bahwa
sawit berhasil menyejahterakan petani. Dia menyampaikan keprihatinannya sebab
saat ini tercatat 4,3 juta petani sawit mandiri, tetapi sebagian besar tidak
membaik ekonominya. Selain itu produktivitas mereka juga rendah, hanya sekitar
4-6 ton/ha. Karena kondisi itulah kami mengusulkan segera moratorium dan
merekomendasikan perbaikan tata kelola sawit karena harus diakui sejauh ini
banyak persoalan yang membelit sehingga petani sawit tidak kunjung sejahtera.
Memang persoalan yang dihadapi tidak sederhana, sebab sering kali komitmen
pemerintah pusat tidak bisa diterjemahkan dengan baik di tingkat bawah.
Kendalanya di birokrasi dan implementasi kebijakan.
Salah satu contoh, instruksi Presiden untuk segera
melakukan peremajaan sawit petani. Pada tahap awal direncanakan melakukan
peremajaan seluas 700 ribu hektar dengan sasaran petani mandiri. Tetapi
implementasi di lapangan, dana peremajaan malah diberikan kepada perusahaan
besar dan petani plasma yang sudah mendapat dana dari perusahaan. Jadi ini tidak
adil dan terjadi praktek buruk di sini. Bagaimana mungkin perusahaan besar
disubsidi pemerintah, ini mengkhianati semangat UUD.
Perlu diingat juga bahwa sebagian besar pengusaha
perkebunan ini menjalankan praktek tidak fair, mereka melakukan land banking. Contohnya seperti ini,
kami melepas ijin 5,8 juta ha untuk dijadikan kebun sawit. Sampai saat ini
yang ditanami hanya 2,7 juta ha, yang kami pertanyakan sisa lahan itu ke mana,
tidak ada yang bisa menjawab. Praktek buruk ini yang membuat kami geram. Salah
satu gagasan memberlakukan kebijakan pengampunan pajak oleh pemerintah sekarang
karena hal-hal seperti ini. Mereka sudah mendapat keuntungan terlalu besar,
tetapi mereka juga mau main curang dengan menghindari pajak.
Dana mereka yang besar diparkir di luar negeri.
Akhirnya kami usulkan bikin tax amnesty, dengan maksud menarik dana orang kaya
itu kembali ke Indonesia. Mereka harus mau, sebab kalau tidak ijin usaha
perkebunan mereka kita cabut. Jadi sebenarnya kita punya kemampuan untuk
mengatur mereka. Hanya sejauh ini karena mereka melakukan penumpukan capital
terlalu besar sehingga merasa berkuasa, bisa membeli kebijakan. Di tangan saya
tidak bisa seperti itu, akan saya lawan praktek yang mengganggu kedaulatan
Negara ini. Komitmen KLHK jelas, bahwa hutan dan kekayaan sumber daya alam
untuk kesejahteraan rakyat.
Selain praktek land
banking, perusahaan besar juga sering mengakali kebijakan melalui
pembentukan banyak anak perusahaan untuk menyiasati batas maksimal pembukaan
hutan untuk kebun sawit. Sinar Mas contohnya, punya 100 anak perusahaan. Bisa
dibayangkan bagaimana besar penetrasi mereka jika kepemilikan mereka disatukan.
Jadi selama ini tata kelola dirusak oleh pemain besar.
Dirjen kemudian mengatakan bahwa harus diingat amanat
UUD bahwa ekonomi Negara ini digerakkan oleh tiga pelaku; Negara dalam hal ini
BUMN, swasta, dan rakyat. Negara dan swasta sejauh ini sudah berkembang pesat,
tentu saja rakyat harus didorong dan diproteksi melalui kebijakan agar mereka
bisa berperan signifikan dalam pembangunan ekonomi bangsa. Karena alasan dan
sikap seperti itu, kami memutuskan supaya IPOP dibubarkan karena ada persoalan
serius sehubungan dengan larangan pemanfaatan lahan gambut dan belukar muda.
Persoalan ini harus didudukkan dan dilihat secara jernih, memang kami sepakat
untuk melarang pemanfaatan hutan gambut, tetapi melarang pembukaan belukar muda
itu sama saja dengan melarang petani mandiri memperluas lahannya. Selama ini
yang membuka belukar muda untuk perkebunan memang petani mandiri karena
pertimbangan efisiensi dan kemampuan peralatan pembukaan lahan. Yang harus
dibatasi adalah ekspansi perkebunan besar dengan kemampuan peralatan dan
permodalan tidak terbatas.
Selain itu harus dipahami juga bahwa bagaimanapun
Negara barat tidak senang dengan pertumbuhan sawit di Indonesia, sehingga selalu
ada kampanye yang disponsori oleh Amerika dan Norwegia. Itu yang harus kita
hadapi secara global, sedangkan di dalam kita harus rapikan semua. Termasuk
desa dengan sawit, kami setuju dan mendukung melakukan penataan ulang, sebab
bagaimanapun dampaknya ke petani juga.
Ke depan kami menghadapi agenda besar untuk mengelola
hutan bersama masyarakat. Dalam waktu dekat kami akan melepas 4,1 juta ha
sebagai bagian dari reforma agraria. Semuanya diprioritaskan pada tanah yang
sudah diduduki masyarakat, termasuk yang digunakan sebagai lahan pertanian dan
fasilitas umum. Nanti masyarakat bisa mengusulkan dan bisa dimiliki. Memang tanah
itu harus diminta karena menyangkut persoalan hukum, bagaimanapun tanah ini harus memiliki subyek
hukum dalam hal ini masyarakat desa.
Kemudian KLHK melalui Dirjen Planologi juga akan
melepas 12,7 ha untuk dimanfaatkan sebagai Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial
ini bisa dikelola dalam 5 peruntukan; Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Hutan Kemitraan. Kalau kita cermati kelima
peruntukan itu semua sasarannya ke rakyat. Kelak mau dikelola untuk perkebunan
tidak masalah atau dikelola sebagai obyek wisata juga bagus. Tegasnya, semua
untuk perbaikan kahidupan ekonomi rakyat, sebab untuk
merekalah negara ini diperjuangkan.
Komitmen operasional kami adalah setiap hutan yang
dilepas 20% harus untuk dimanfaatkan rakyat. Rakyat yang dimaksud adalah desa,
kelompok masyarakat. Dengan komitmen ini kami sangat optimis akan ada pergerakan
ekonomi baru dari ekonomi desa. Hutan rakyat yang kami cita-citakan dan bisa
diwujudkan di Gunungkidul bisa dirasakan di seluruh Indonesia.***
Jum`at, 15 April 2016 10:59:54 - oleh : admin