oleh: Dr. Sutoro Eko
Hubungan antara negara dan desa tidak pernah cocok dan tuntas. Negara mengalami kesulitan membangun desa. Berbagai program pembangunan terus mengalir ke desa sejak 1970-an, tetapi seakan selalu pudar seperti "istana pasir".
Hari ini pelaksanaan UU Desa mengalami kesulitan serius.
Setahun kelahirannya, kehadiran UU Desa disambut dengan penuh antusias oleh para pemangku desa, tetapi kehadiran dana desa tahun ini mereka sambut dengan keraguan dan ketakutan.
Intervensi "tata negara" bukan hanya gagal dari sisi kehendak untuk memperbaiki dan membangun desa, tetapi juga menundukkan, melemahkan, dan merusak "cara desa". Dalam praktik, teknokratisasi-birokratisasi telah menghadirkan tiga penyimpangan.
Pertama, siasat lokal biasa ditempuh para pemangku desa yang cerdik untuk menembus kerumitan birokrasi, dengan spirit "melakukan hal yang salah dengan cara yang benar".
Kedua, penumpang gelap adalah para "konsultan jalanan" yang membantu desa menyiapkan dokumen perencanaan dan penganggaran desa guna memperoleh kucuran dana desa.
Ketiga, para aparat daerah sibuk melakukan asistensi dan verifikasi terhadap dokumen yang disiapkan desa, tetapi semua ini berujung pada pencarian rente.
Otonomi Desa merupakan syarat mutlak dari pembaharuan Desa, dalam konteks ini masyarakat Desa membutuhkan perlindungan hukum yang mengandung tiga dimensi, yakni pemulihan, perlindungan dan peningkatan. (sumber: Kompas)