Berbasis pada penelitian lapangan di tiga provinsi (DIY, Bali dan Sumatera Barat) sepanjang 2002-2010, saya membangun argumen induktif bahwa tradisi berdesa dan ukuran desa yang lebih besar mempunyai kontribusi lebih besar terhadap penciptaan kemakmuran. Tradisi berdesa berarti masyarakat menggunakan institusi desa sebagai pemegang otoritas yang absah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, sekaligus desa menjadi basis identitas dan penghidupan. Desa secara kolektif menciptakan tatanan sosial dan kemakmuran bersama.
Tradisi berdesa juga disebut sebagai aksi kolektif berbasis desa. Berdasarkan studi komparatif di Jepang, Filipina, Jawa dan Asia Selatan, Yujiro Hayami (1980, 1982) adalah penemu konsep aksi kolektif berbasis desa itu. Bagi Hayami, desa merupakan basis kehidupan masyarakat petani di Asia, tidak sesimpel tempat hidup dan bermukim, tetapi desa juga sebagai organisasi yang memobilisasi aksi kolektif untuk menyediakan barang-barang publik secara esensial yang mampu menjamin keamanan dan ketahanan ekonomi masyarakat lokal. Desa juga memiliki regulasi untuk koordinasi dan reduksi konflik dalam penggunaan sumberdaya lokal di antara orang desa.
Ukuran desa dapat dilihat dari ukuran jumlah penduduk yang lebih besar dan wilayah yang lebih luas. Jika daerah memiliki jumlah desa yang sedikit berarti ukuran desa bisa disebut besar. Memperoleh inspirasi cari cara pandang Soetardjo, Selo Soemardjan dan Nasikun, saya berpendapat bahwa ukuran desa yang besar membuat skala ekonomi dan otonomi yang lebih besar dan kuat. DIY, Bali dan Sumbar merupakan eksemplar kasus ini.
Secara historis seluruh Jawa sampai abad X mempunyai wanua (cikal bakal desa) yang berukuran besar. Tetapi karena wanua menjadi basis unit pajak dan kerja paksa, maka karaman (dewan desa) membentuk thani dengan ukuran yang lebih kecil ketimbang wanua, sebagai organisasi desa baru (JW Christie, 1989; JS Lansing, 2006). Tujuan pemekaran desa adalah untuk menghindari pajak dan kerja paksa. Tetapi raja tetap mengejar thani sebagai unit pajak baru melalui perantara rakai (pemimpin watek). Karena penghisapan ini banyak thani yang melakukan bedhol desa ke pedalaman dan pegunungan dengan membentuk desa baru bernama dapur. Mereka terhindar dari pajak dan kerja paksa. Sejarah inilah yang membuat kenapa Jawa memiliki jumlah desa yang sangat besar dan ukuran desa yang kecil.
Sementara di DIY, Sultan Hamengku Bowuno IX, dengan arsitek Selo Soemardjan muda, pada tahun 1946-1948 melakukan penggabungan desa bersamaan dengan penghapusan status desa perdikan, demokratisasi desa dan redistribusi tanah kepada desa. Prakarsa ini saya sebut sebagai reformasi dan rekonstitusi desa.
Bukti Baru
Argumen saya di atas dibuktikan dengan Indeks Desa Membangun (IDM) yang dipublikasikan oleh Kementerian Desa (2015) dan Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang diluncurkan Bappenas (2014). Keduanya memiliki perbedaan dan persamaan. IDM dengan basis tiga variabel berdesa (ketahanan sosial, ekologi dan ekonomi), IPD menggunakan variabel modernis (pelayanan dasar, infrastruktur, transportasi, pelayanan umum dan pemerintahan desa). Keduanya paralel dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tetapi berbanding terbalik dengan indeks kemiskinan. Kedua indeks itu sama-sama menempatkan DIY pada ranking pertama dan Bali pada posisi kedua. DIY memang unik, memiliki angka kemiskinan yang lebih tinggi dari angka nasional, tetapi memiliki IPM lebih tinggi, serta IDM dan IPD pada ranking pertama.
Tiga bentuk ketahanan desa penting untuk analisis diakronis dan menemukan tantangan krusial. Secara nasional IDM sebesar 0.566, dengan rincian: indeks ketahanan ekologi sebesar 0.647, indeks ketahanan sosial sebesar 0.593, dan indeks ketahanan ekonomi sebesar 0.459. Angka-angka ini menunjukkan sebuah kesenjangan: ketahanan ekonomi desa lebih lemah ketimbang ketahanan sosial dan ekologi. Ketahanan sosial yang bertumpu pada modal sosial dan ketahanan ekologi yang bertumpu pada kearifan lokal, yang keduanya merupakan kreasi dan tradisi lokal, lebih kuat dibandingkan dengan ketahanan ekonomi yang digerakkan pemerintah dan pasar.
Kesenjangan itu mengingatkan kita pada tesis dualisme ekonomi JH Boeke satu abad silam maupun tesis involusi pertanian dan berbagi kemiskinan ala Clifford Geertz. Dualisme ekonomi ditandai dengan perbedaan antara Barat dan Timur, modern dan tradisional, industri dan pertanian, maupun kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial. Kedua sisi itu hidup saling berdampingan, tetapi ekonomi kapitalis-modern yang dipromosikan oleh negara dan pasar global tidak mampu membawa perubahan atas ekonomi tradisional desa, kecuali merusak dan menindasnya. Karena itu ekonomi desa mengalami stagnasi atau involusi.
Rekonstitusi
Desa merupakan tradisi dan basis ideologis di Asia. Para administrator kolonial Inggris di India, mulai dari Munro (1806) hingga Metcalfe (1830), merupakan penemu “republik desa”. Konstruksi itu menjadi referensi administrator kolonial Belanda di Nusantara pada tahun 1890, yang menemukan republik desa bukan di Jawa (sebab desa Jawa sudah berubah menjadi “desa mandala” karena ditundukkan dan dihisap oleh kerajaan), melainkan di Minangkabau dan Bali. Republik desa ditandai dengan: integrasi secara organik antara pemimpin desa dengan masyarakat, kohesi dan harmoni sosial, relasi egalitarian, otonomi di hadapan negara, demokrasi tradisional, kepemilikan dan kemakmuran bersama.
Tetapi para ilmuwan sosial generasi baru tidak percaya pada konstruksi kolonial itu, sembari mengatakan bahwa republik desa merupakan mitos menyesatkan. Republik desa, kata mereka, telah runtuh karena intervensi negara dan kehadiran kapitalisme. Desa diwarnai dengan dominasi elite, kesenjangan kelas, dan desa tidak independen di hadapan negara. Otonomi desa telah bergeser menjadi pemerintahan desa yang dikendalikan negara.
Pandangan itu benar sebagian, tetapi republik desa tidak mati total. Banyak desa adat di Bali tetap mampu mempertahankan republik desa meski menghadapi gempuran modernisasi dan intervensi negara (Nordholt, 1991; Mitchell, 1994; Lansing, 2006). Robert Wade (1994), dalam studinya di 40 desa di India Selatan, menunjukkan sejumlah 31 desa mampu mempertahankan republik desa, dan 9 desa lainnya sudah mati. Wade menyajikan republik desa baru, yang ditandai dengan bekerjanya otoritas koersi dan penegakkan aturan dalam desa, serta aksi kolektif berbasis desa yang dipimpin oleh dewan desa (panchayat) dalam pengelolaan sumberdaya lokal seperti sarana irigasi dan padang rumput. Bagi Wade, pengelolaan common pool resources dan public good jauh lebih baik ketika bekerja dengan pola aksi kolektif berbasis desa (republik desa) ketimbang aksi kolektif voluntaristik berbasis masyarakat, maupun regulasi negara dan privatisasi.
Bagaimanapun republik desa di India direstorasi secara ideologis oleh Mahatma Ghandi. Hari ini India (yang tampil seperti gajah, binatang yang besar dan kokoh) menempatkan desa sebagai basis otonomi, demokrasi dan persemakmuran bersama. Sementara China (yang tampil seperti naga, binatang predator yang kuat, cepat dan ganas) menempatkan desa sebagai basis demokrasi, otonomi dan kapitalisme (melalui korporasi rakyat dengan basis desa).
UU Desa sebenarnya mempunyai semangat kemandirian (otonomi), kerakyatan (demokrasi) dan kemakmuran seperti halnya tradisi India dan China. Tetapi implementasi UU Desa direduksi hanya sebagai proyek dana desa yang dikelola secara teknokratis-birokratis. Jika pola ini dirawat terus, maka desa akan mengalami involusi secara berkelanjutan.
Jika Boeke menggagas “rekonstruksi desa”, saya menggagas rekonstitusi republik desa. Pertama, memutar balik dari pendekatan teknokratisasi dan birokratisasi menjadi rekognisi, redistribusi, demokratisasi dan edukasi terhadap desa. Kedua, memutar balik dari proyek dana desa menjadi wacana kemandirian, kerakyatan dan kemakmuran desa. Ketiga, Indonesia akan memilih India atau China? Inilah rekonstitusi secara nasional.
Jika ketahanan ekonomi dikatrol menjadi setara dengan ketahanan sosial dan ekologi, maka desa Indonesia akan menyerupai gajah India. Pendekatannya bukan membangun istana pasir, tetapi memperkuat aset lokal dengan semangat “sedikit demi sedikit menjadi bukit”. Jika mau memilih naga China maka jangan ragu dengan korporasi (kapitalisme) rakyat, lewat jalan industrialisasi pedesaan secara massif dan ekspansif.
Namun proyek kemakmuran tidak boleh mengabaikan kemandirian dan kerakyatan. Rekonstitusi lokal harus dijalankan secara kolektif oleh pemimpin desa dan masyarakat desa, yakni upaya menemukan kembali atau membangun baru institusi (organisasi, pranata, aturan main) untuk memfasilitasi aksi kolektif. Musyawarah desa merupakan arena untuk rekonstitusi desa, bukan sekadar untuk membicarakan proyek, tetapi untuk merajut kemandirian, kerakyatan dan kemakmuran. Kolaborasi shareholding antara desa dengan perusahaan merupakan bentuk lain rekonstitusi. Jika industri akan ditempuh, maka harus disertai rekonstitusi, yang meletakkan kontrol kepemilikan lokal atas industri atau melalui shareholding.
Oleh: Sutoro Eko