FPPD - Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

Anda Bisa Berbuat Apa Tanpa Negara?

oleh: Dr. H. Sutoro Eko

Ketika terjadi krisis dan bencana, saya selalu mengingat kembali tulisan kecil saya 14 tahun silam, “Anda Bisa Berbuat Apa Tanpa Negara?”. Frasa pertanyaan yang saya angkat menjadi judul itu, sebenarnya disampaikan oleh sahabat Arie Djito ketika dia menolak keras argumen seorang aktivis: “Di saat bencana seperti ini, negara sedang lumpuh. Ini saatnya rakyat merebut negara, menangani sendiri pemulihan bencana”.

Hari-hari ini, ketika manusia di muka bumi terkena bencana pandemik virus corona, pertanyaan saya di atas terjawab dengan baik. Pemerintah secara berdaulat memerintah dan menghadirkan negara untuk menangani bencana corona. Seperti Leviathan ala Thomas Hobbes, negara menciptakan law and order, melindungi warga dari bencana, menghalau kerumunan massa, dengan pendekatan edukasi dan persuasi, bahkan koersi dan represi. Negara juga membagi dan melayani warga yang terpapar dan terdampak virus corona. Ini dilakukan tanpa teknokrasi, birokrasi, dan regulasi yang rumit, berbelit, dan lambat.

Memang agak kalang kabut. Tetapi harus dimaklumi, sebab selama waktu normal, pemerintah tidak berdaulat menghadirkan negara, karena terjerat oleh teknokrasi, birokrasi, dan regulasi. Ingat, regulasi adalah manifestasi negara peraturan, bukan negara hukum yang demokratis dan adil. Di saat normal, teknokrasi lebih berkuasa ketimbang demokrasi. Keahlian teknokrasi (data, indikator, metode, standarisasi, instrumen, aplikasi, dll) dilembagakan ke berbagai jenis regulasi, yang mereka yakini sebagai rule of law, untuk mengendalikan manusia, masyarakat, pemerintah dan negara. Teknokrasi tidak mengabdi pada konstitusi, melainkan pada globalisme dan neoliberalisme, yang menjajikan penumpukan kekayaan secara melimpah tanpa korupsi. Tetapi ini hanya janji kosong.

Di waktu normal, globalisme dan neoliberalisme tidak suka pemerintah-negara yang hebat, demokrasi yang kuat, rakyat yang berdaulat, dan warga-negara yang bermartabat. Bagi pembawa-pendukung ideologi itu, pemerintah-negara adalah sumber dari segala sumber masalah, sehingga mereka lebih suka pada pemerintahan-pasar, lebih suka pelanggan pelayanan publik ketimbang warga sebagai pemilik absah atas negara. Pemerintahan-negara, yang mereka ganti menjadi “sektor publik”, tidak perlu dikelola dengan politik-demokrasi, melainkan dikelola dengan manajemen publik secara saintifik-teknokratik untuk mencapai efisiensi dan efektivitas.

Globalisme dan neoliberalisme selalu rentan dengan krisis dan bencana. Mereka tidak sanggup -- jika tidak bisa dibilang tiarap -- mengatasi bencana, seperti yang dilakukan negara, kecuali hanya dengan pendekatan humanitarian. Pemerintah-negara hadir lebih digdaya dan konkret dalam mengatasi bencana, ketimbang pasar dan aktor global. Teknokrasi mau tidak mau harus tunduk dan mendukung keputusan politik pemerintah.

Akhir kata, bencana ini harus menjadi hikmah, bukan hanya untuk situasi darurat tetapi juga untuk situasi normal. Penyelenggaraan pemerintahan maupun pelayanan publik tidak perlu lagi menggunakan resep dan merk dagang yang dijual kaum neoliberal. Indonesia haru kembali pada cita-cita luhur para pendiri republik dan amanat konstitusi: negara hukum yang berkedaulatan rakyat dan berkeadilan sosial. Pemerintah milik rakyat, negara milik warga. Negara memiliki konstitusi. Pemerintah dan parlemen, sebagai institusi pemegang kedaulatan rakyat, yang membuat-memiliki-menjalankan hukum (undang-undang) untuk memerintah, mengatur dan mengurus negara, agar negara melindungi dan melayani warga.

Pemerintah dalam memerintah negara butuh dukungan demokrasi dan ilmu-pengetahuan. Ilmu tidak boleh berkuasa menjadi teknokrasi. Ilmu harus amaliah, demikian ujar Soekarno. Ilmu yang terlalu ilmiah-saintifik, apalagi menjadi teknokrasi, akan semakin jauh dari amaliah, jauh dari rakyat, dan kian dekat dengan tengkulak. “Tanpa demokrasi, ilmu pengetahuan akan menjadi pedang mengerikan di tangan segelintir orang; tetapi dengan demokrasi, ilmu pengetahuan menjadi alat bagi perbaikan sosial yang bermanfaat”, demikian ungkap David Apter (1977).

kirim ke teman | versi cetak

 

Jum`at, 3 April 2020 16:36:08 - oleh : admin

Informasi "" Lainnya