FPPD - Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

MODERNISASI DESA

Oleh: Dr. Sutoro Eko Y (Begawan Desa)


Moenadi, Gubernur Jawa Tengah periode 1965-1974, pada 2 Juli 1968, menggagas dan menyampaikan pidato “Modernisasi Desa”, sabagai tanggapan dan masukan kepada Pemerintah yang tengah menyiapkan Repelita I (1969-1974). Setelah itu kerja bareng antara K.R.T. Wasitodipuro, dalang legendaris Ki Narto Sabdo, karyawan Direktorat Agraria Jawa Tengah dan RRI Semarang membuat lagu Jawa bertitel: Modernisasi Desa. 


Begini liriknya:


Ayo ayo kanca tilingena 

Kanca piyarsakna, enggal katindakna 

Desa kuwi wit kuna wis mesti tansah dadi obyek ning saiki ganti 

Modernisasi desa, ya tegese kuwi ca 

Kudu tansah dadi subyek melu nemtokake 

Ing bab politik ekonomi lan sosial 

Lan kabudayan duwe oto aktivitas 

Mrih kang tundhone kanggo mbrantas pengangunguran 

Modernisasi desa, modernisasi desa Sa Indonesia


(Ayo ayo kawan dengarkan 

Kawan perhatikan, cepat laksanakan 

Desa itu sejak mula memang selalu jadi obyek tetapi sekarang berganti

Modernisasi desa, ya itulah maksudnya kawan 

Harus selalu jadi subyek ikut menentukan 

Dalam bidang politik, ekonomi dan sosial 

Dan kebudayaan punya aktivitas mandiri 

Agar pada akhirnya dapat memberantas pengangguran 

Modernisasi desa, modernisasi desa Se Indonesia)


Konsep modernisasi desa itu diakomodasi oleh Orde Baru dalam Repelita I dengan tema “Pembangunan Desa”. Tetapi praktik pembangunan desa Orde Baru tidak menempatkan desa sebagai subyek mandiri seperti spirit modernisasi desa Jawa Tengah, tetapi desa tetap sebagai obyek segala hal dari Jakarta.


Kalau sekarang bagaimana? Silakan dipikir dan dirasakan.


Kata sejarawan asal Prancis, Denys Lombard, “desa berdikari” (gagasan yang sekarang juga disukai oleh Gubernur Jawa Tengah) justru terjadi pada era 1945-1965 di saat kontrol negara pada desa sangat longgar. Baik sejarawan George Kahin dari Cornell, maupun muridnya, Selo Soemardjan (Bapak Sosiologi Indonesia), memberikan contoh sangat baik tentang reformasi desa yang dijalankan oleh Sri Sultan HB IX di DIY dan KGPAA Pakualam VIII. Selo yang masih muda, tentu, juga hadir sebagai arsiteknya. Pada tahun 1946-1948, DIY melakukan penggabungan desa, penghapusan desa perdikan, distribusi tanah kraton pada desa, maupun demokratisasi desa melalui pembentukan majelis desa dan dewan desa. Desa betul-betul otonom mengambil keputusan dalam rumah tangga desa, termasuk urusan tanah. Dewan desa juga sangat kuat melakukan kontrol terhadap lurah desa.


Desa berdikari pada era itu berarti desa mandiri, menjadi subyek mandiri, tidak banyak kena campur tangan dari atas, dan tentu desa memainkan peran penting untuk rakyat dan untuk republik. Pada masa revolusi fisik, desa-desa Jawa bagian Selatan memanfaatkan tanah segahan untuk memberi logistik tentara rakyat yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Soerdiman. Pada tahun-tahun yang sama juga, di Jawa, rata-rata satu desa atau beberapa desa bekerjasama mendirikan sekolah dasar/sekolah rakyat, sebab waktu itu semangat orang desa untuk bersekolah sangat tinggi sementara kemampuan pemerintah masih sangat terbatas. Desa mengambil guru setempat, untuk mendidik calistung, termasuk mendidik Bahasa Indonesia. Mereka digaji dengan tanah paguron milik desa. Kelak di kemudian hari, SD itu diakui dan dilembagakan menjadi SD Negeri, dan para guru lokal juga diangkat menjadi guru PNS.


Namun setelah 1965 berbagai tanah berdikari milik desa (tanah titi soro untuk orang miskin, tanah pangonan untuk peternakan, tanah paguron untuk guru, tanah segahan untuk para tamu, tanah sengkeran, tanah narawita, dll) sudah tidak ada lagi.

kirim ke teman | versi cetak

 

Senin, 7 Mei 2018 18:38:36 - oleh : admin

Informasi "" Lainnya