Sisi Lain Ekonomi Pedesaaan di Kecamatan Lalan
Oleh: KF Borni Kurniawan (Peneliti FPPD dan
Anggota Strategic Policy Unit Kemendesa PDTT)
Kecamatan di Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA) sebagian besar desa-desa di dalamnya adalah desa yang terbentuk karena program tranmigrasi di akhir tahun 80-an dan akhir tahun 90-an. Menurut data statistik, kemiskinan di Lalan adalah paling tinggi di antara 14 kecamatan lainnya. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dan pekebun mandiri. Selain padi, dua komoditas pertanian yang banyak dikembangkan adalah kelapa dalam dan kelapa sawit. Mungkinkah ada hubungannya, matapencaharian penduduk sebagai petani dan pekebun dengan kemiskinannya.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk menjawab korelasi ada tidaknya hubungan tersebut. Tapi hanya berupaya mencari simpul penyebab mengapa secara ekonomi produktivitas ekonomi desa-desa di Lalan nampak tidak produktif, dalam arti berada dalam subsistensi. Data statistik menunjukan, potensi komoditas pertanian di Lalan sangat tinggi. Apalagi didukung tingkat kesuburan dan kebasahan lahan yang baik, sehingga berbagai jenis tumbuhan dapat berkembang biak dengan baik.
Lalu, mengapa tingginya produk ekonomi pertanian belum berdampak positif pada kesejahteraan keluarga petani. Apalagi terhadap keberdayaan ekonomi desa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan FPPD (2017 -2018) yang dilakukan bersamaan proses pemertaan partisipatif dalam rangka pemanfaatan tata ruang dan tata guna lahan desa menuju keberdayaan ekonomi lokal berkelanjutan, atas dukungan Rainforest Alliance (RA) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), ada beberapa gejala sosial yang mungkin bila didalami lebih seksama, maka kita akan menemukan jawaban atas korelasi antara matapencaharian penduduk dengan kesejahteraannya.
Pertama, perubahan tata ruang dan tata guna lahan desa yang melemah daya keanekaragaman hayatinya, dari multikultur ke monokultur. Penyebabnya adalah industrialisasi perkebunan sawit, karet dan pertambangan yang cukup masif. Termasuk juga penyelenggaraan program pembukaan lahan yang masif dalam program transmigrasi. Di MUBA secara umum tumbuh cukup subur kegiatan industri tersebut. Di beberapa titik seperti Sako Suban, Keban, Bentayan, dan Keluang aktivitas pertambangan minyak bumi dan batu bara cukup agresif mengurangi keanekaragaman hayati lingkungan desa. di Lalan sendiri, ekspansi perkebunan sawit yang semula digerakan oleh pelaku industri swasta, kini mampu menggerakan warga desa beralih dari petani holtikultura ke petani sawit, baik yang menempuh kemitraan plasma maupun mandiri. Secara tidak disadari, sebagaimana diakui oleh warga Desa Karang Agung dalam suatu pertemuan di kantor desa, menyatakan bahwa aneka flora dan fauna langka dan endemik Lalan saat ini mengalami kepunahan. Di samping itu, kada air bersih semakin sulit didapatkan, karena beralihnya lahan gambut menjadi perkebunan sawit.
Kedua, tidak adanya pola budidaya dan pemeliharaan tanaman yang baik, utamanya untuk tanaman sawit. Dampak ikutan dari hadirnya industri perkebunan sawit di Lalan yakni berkembangnya jumlah petani sawit mandiri. Jumlah petani sawit mandiri berkembang cukup pesat, tapi masih sedikit yang memahami tentang konsep metode bercocok tanam sawit yang baik (good agriculture practice). Bahkan para pekebun sawit mandiri tidak tahu bila dalam kelembagaan bisnis sawit telah berlaku kebijakan standarisasi produk sawit lestari seperti ISPO ataupun RSPO. Hal ini telah menyebabkan buruknya tata kelola perkebunan yang dijalankan oleh para pekebun sawit mandiri serta petani menderita harga sawit yang rendah saat dibawa ke pabrik CPO. Karena itu, nilai tambah pengelolaan produk pertanian Lalan justru berada dalam kuasa monopolistik dan oligopolistik para tengkulak dan pemodal yang nota benenya berada di luar desa tapi mendapat untung dari desa karena lemahnya sistem ekonomi lokal desa.
Ketiga, tidak adanya treatment pascapanen atas produk hasil pertanian yang berkualitas dan inovatif sehingga mampu meningkatkan nilai tambah karena berlipatgandanya produk turunan, utamanya untuk kelapa dalam. Para petani selalu memilih untuk menjual komoditas kelapa dalam kepada tengkulak dalam bentuk butiran yang sudah dikupas sabutnya. Demikian pula dengan sabutnya yang berlimpahnya jumlahnya sama sekali tidak diproduk menjadi barang ekonomi yang lebih bernilai kecuali dimusnahkan dengan cara dibakar. Dengan membakar, tentu menjadi ancaman baru bagi kelestarian hutan dan lahan desa yang sebagian besar adalah lahan gambut.
Pola yang sama juga berlaku untuk komoditas padi. Sebagian besar petani menjual padi dalam kondisi basah (gabah basah). Begitu dipanen, padi basah (gabah basah) langsung dimasukan ke karung, tanpa pengeringan. Kemudian, gabah basah langsung dijual ke tengkulak. Informasi sampai awal tahun 2018, harga gabah basah dari petani ke tengkulak Rp3000-an/kg. Setelah dikeringkan oleh tengkulak, harga jual gabah kering dari tengkulak ke bos beras di Palembang bisa mencapai Rp7.500/kg. Artinya, di sini ada marjin kerugian bagi petani yang hilang sebesar Rp4.500/kg karena diambil para tengkulak yang disebabkan oleh tidak adanya upaya pengeringan gabah basah oleh petani.
Keempat, rendahnya dukungan infrastruktur dan fasilitasi program pengembangan kapasitas sumberdaya manusia bagi para petani dan pekebun mandiri oleh pemerintah dan sektor swasta. Infrastruktur jalan darat serta rendahnya kepemilikan alat transportasi sungai oleh penduduk setempat ataupun badan ekonomi lokal tertentu di desa menyebabkan biaya produksi dan distribusi petani tinggi. Karenanya, peluang ini menguntungkan bagi para tengkulak dan pelaku usaha padat modal di luar desa, bahkan negeri manca. Demikian untuk program pemberdayaan untuk petani dan pekebun mandiri yang diselenggarakan oleh pemerintah tidak mampu menjangkau pada terbentuknya keberdayaan para petani dalam hal kemampuan mendiversifikasi produk dan pemasaran hasil pertanian.
Kelima, BUMDesa yang sudah berdiri di beberapa desa sebagai kelembagaan ekonomi lokal desa belum berdaulat dan berdaya mengelola peluang ekonomi bidang pertanian dan perkebunan. Kehadiran BUMDesa malah mengambil unit produksi ekonomi yang cenderung membuka persaingan baru dengan pelaku ekonomi lokal desa atau malah menjadi agency yang mengokohkan rantai bisnis sektor swasta yang cenderung kapitalistik dan mengabsorpsi keuntungan dari petani ke dalam kantung mereka sendiri. Akibatnya para petani dan pekebun sebagai produsen pertama tidak memiliki banteng penepis kekuatan oligarkis ekonomi kapitalis. Dari pengadaan bibit, pupuk, sampai dengan penjualan hasil panen lepas dari kuasa petani. Semua tidak mampu mereka cukupi sendiri. Petani menjelang musim tanam harus berhutang, setelah panen harus membayar hutang pada korporasi.
Keenam, sektor pertanian di Lalan sebenarnya kekurangan tenaga kerja dari kelompok penduduk usia produktif (pemuda). Dalam arti, rasio ketersediaan lahan dengan tenaga kerja usia produktif sungguh timpang. Lahan luas tapi anak-anak muda yang bersedia turun ke sawah tidak banyak. Salah satunya belum adanya inovasi pengembangan hasil pertanian pasca panen.
Langgam sistem ekonomi desa-desa pertanian dan perkebunan di Lalan yang cenderung monoton tanpa diversifikasi dan inovasi produk pertanian pasca panen, secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya angka urbanisasi. Tidak sedikit warga desa dalam kategori usia produktif dan terdidik, memilih pergi ke kota untuk bekerja di sektor non farm. Salah satunya dialami oleh Ponijan, petani dari Desa Karang Mukti, transmigran asal Sleman Yogyakarta. Ia mengaku tak lagi bisa berharap pada anak-anaknya untuk terjun bersamanya merawat kekayaan pertaniannya, karena anak-anak mereka sudah berhasil bersekolah, bekerja dan berkeluarga di Jawa, dan tak mau kembali ke kampung halaman. Dengan luasan sawah hampir mencapai 15-an hektar, Ponijan menggarapnya hanya bersama istri. Di sini, kiranya dapat diketahui adanya ancaman dunia pertanian kurang mendapat perhatian kalangan muda desa sendiri. Bila trend ini terus berlanjut, maka suatu saat bukan tidak mungkin produktivitas pertanian desa-desa di Lalan juga akan menurun.
Minggu, 22 April 2018 06:41:46 - oleh : admin